Rabu, 22 Juni 2016

Teruntuk Adikku yang Lebih Dulu Menikah, Berbahagialah

Teruntuk Adikku yang Lebih Dulu Menikah, Berbahagialah

Adikku yang lucu, waktu dulu kita ini hanya anak kecil yang suka lari-larian. Aku dan kamu sering main bareng di rumah, kita juga pernah tertawa lepas, berantem berebutan mainan, dan makanan.

Dulu, kakak yang gantikan peran orangtua untuk menjagamu. Waktu kamu pulang sekolah telat karena bermain dengan teman-temanmu, aku marah karena kamu tidak mengabariku. Akhirnya Ibu gantian yang memarahiku. Dik, saat itu kakak ngerasa tidak becus menjadi seorang kakak untukmu.

Kini, kamu sudah beranjak dewasa. Tidak terasa ya, kamu sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Tidak lagi malu-malu minta uang kepadaku lagi.

Kamu sudah berani mengenalkan laki-laki yang sudah kamu pacari bertahun tahun. Ah entahlah, yang aku tahu, kamu sering sekali mendapatkan yang baru setelah putus beberapa kali. Tapi, kali ini tidak, kamu menjalani hubunganmu dengan serius. Buktinya, kamu bertahan menjani hubungan dengannya hingga bertahun-tahun.

Kala itu, aku merasa sudah jenuh dengan rutinitasku, aku bekerja dari pukul 8 pagi hingga pukul 5 sore. Kamu memanggilku, kita duduk berdua saling bertatapan. Aku tersenyum melihat wajahmu, kamu terlihat cantik, dan dewasa.

Adikku yang dulu sering aku marahi karena begitu jailnya, mendadak jadi kalem. Kamu mengucapkan sesuatu yang penting.

Bukannya aku tidak menyimak, ucapanmu yang keluar tadi membuat badanku menjadi kaku, lidahku kelu, otakku beku, hatiku keras. Ada apa? kenapa aku tidak bisa mencerna apa yang kamu ucapkan barusan?

Padahal, ucapanmu berlangsung dengan tegas tanpa patah-patah.

Katamu, kamu ingin menikah tahun depan. Lamaran akan segera ditunaikan dua bulan lagi.

Begitu.

Kamu menatapku heran, karena aku tidak lagi dalam duniaku, hingga kamu menyadarkanku dengan pertanyaan, "Kak, mau minta apa dari aku?"



Aku sedikit "bergerak" aku mulai aneh dengan pertanyaanmu.

Dik, hati ini sedang terluka saat ucapanmu tepat membidik di hatiku. Rasanya, ini lebih sakit dari putus cinta.

Dik, aku nggak tahu apa jawabanku untuk pertanyaanmu. Kamu bertanya aku mau minta apa? Maksudmu uang pelangkah? Yang sering aku dengar saat adik ingin menikah duluan melangkahi kakaknya.

Kalau boleh menjawab, mungkin saja aku minta rumah mewah dengan isinya, mobil mewah, uang triliun, dan baju branded.

Aku, bagai menemukan lampu aladin, yang harus menjawab permintaan apa pun yang aku mau. Ini kesempatan.

Tapi, aku tak yakin kamu bisa memenuhi semua permintaannku.

Padahal, semua itu tidak sebanding dengan patah hatiku.

Sampai saat acara lamaran, aku belum menemukan pasangan yang juga bisa aku kenalkan kepada orangtua.

Aku setengah menikmati kebahagiaanmu. Cincin lamaran diberikan padamu dari calon ibu mertuamu.

Ah, seandainya itu aku. Aku juga pasti bereaksi sama sepertimu. Bahagia.

Ketika itu, aku susuri semua mata yang melihatmu memakai cincin.

Namun, bahagia itu hanya milik semua yang hadir di situ, semuanya bahagia. kecuali aku.

Dik, tak terasa ya sudah mendekati hari pernikahanmu.

Aku tak sengaja melihatmu yang ribet sana-sini untuk keperluan pernikahan. Mulai dari soal cetak undangan, suvenir, katering, baju, gedung, dll. Ibu dan kamu saling bekerja sama dan pusing menyiapkan perihal pernikahan.

Dan aku, aku hanya menyiapkan hati untuk bisa meng-handle dengan baik saat ijab qobul terucap sah.

Hari itu tiba…

Semuanya nampak ribet, buru-buru, ramai, gerah. Adik dan ibu lagi-lagi bekerjasama. Ibu selalu ada di sisi kamu Dik, aku lihat ibu dan ayah menikmati momen ini. Iya, tanggung jawabnya sebagai orangtua untuk menikahi putrinya sudah satu ditunaikan. Ayah dan ibu setengah bernapas lega.


Katanya, dalam akad nikah malaikat hadir di sekitar kita. Dan untuk berdoa sangat diijabah. Tahukah Dik, aku khusyuk dalam doa, agar kamu dan suamimu bahagia mengarungi rumah tangga, dan aku tak lupa mendoakan diriku sendiri, aku juga ingin menikah, menyusul kamu.

Dan, harusnya kamu yang menyusul aku, bukan sebaliknya. Ternyata siklus susul-menyusul pernikahan dengan kamu aku kalah. Iya, aku beri kamu ruang untuk bergerak lebih cepat.

Dan maaf, kini aku yang harus menyusul cepat-cepat, bukan kamu. Apalagi, setelah pernikahan itu terjadi beberapa bulan kemudian, kamu hamil dan aku masih saja sendiri dengan ketidaktahuanku kapan aku segera menyusul kamu.

Dik, doakan kakak. Kakak tidak ingin kalah darimu. Kakak juga ingin cepat-cepat menyusul, karena aku sudah jauh tertinggal darimu. Dan harusnya aku sudah menikah saat kamu melahirkan bayi perempuanmu.