Hai, sayang.
Aku tak ingin menjejali telingamu dengan keluhan, karena tak tega
rasanya menatap parasmu yang tampak kelelahanan. Tak ingin pula aku
membuat kerutan di kedua alismu kian jelas tergurat hanya karena
mendengarkan tuturanku. Aku pun tak berminat menambah pikulan, membuat
jalanmu semakin menunduk pun dadamu bertambah sesak dihimpit ganjalan.
Untuk itulah kubuatkan surat pendek ini saja, supaya bisa kau baca
kapanpun kau mau, di saat pekerjaanmu sedang bersiap baik dan menderma
sedikit waktu. Lewat surat ini aku juga ingin kau tahu bahwa di sini aku
tak lelah menunggu.
Aku tak ingat lagi kapan terakhir kali kita meluangkan waktu untuk
makan malam. Yang aku tahu, sekarang kita sedang tenggelam dalam
kesibukan.
Bagaimana pekerjaanmu hari ini? Apakah bobot bebannya makin tak masuk
akal? Dan, apakah atasanmu masih sering membuatmu sebal? Ah, akhir-akhir
ini memang kita sedikit kehilangan rekam jejak satu sama lainnya. Kabar
yang kita tukar tak jauh-jauh dari ucapan selamat pagi, selamat makan,
selamat tidur. Lucu rasanya, ketika jalinan yang umurnya sudah tahunan
ini kembali ditarik mundur. Kita bagai remaja lugu yang masih gagu dan
tak tahu mesti berkata apa selain melontarkan ucapan ala kadarnya.
Aku lupa kapan tepatnya kita mulai menciptakan jarak. Yang aku pahami,
kita sedang babak belur digilas kesibukan. Waktu yang kita punya makin
tiris karena pekerjaan yang kita tekuni kian egois. Tak memperbolehkan
kita saling menelepon demi berbagi beban maupun membagi sedikit cerita
lewat pesan. Dia hanya mengijinkan kita pulang saat energi sudah
tersedot habis. Tak ada lagi daya yang tersisa untuk sekedar makan malam
bersama di warung kaki lima maupun kedai nasi goreng langganan. Apalagi
bertutur panjang lebar sebelum memejamkan mata.
Kita memilih bantal dan selimut sebagai tempat mengadu. Berjanji bahwa
esok hari akan menumpahkan segala cerita. Namun, esok paginya, selalu
saja, segalanya tertelan mentah-mentah karena kita terbangun dalam
keadaan lupa. Hanya mimpi yang cukup indah yang berhasil tertinggal di
kepala.
Jam kerja yang tanpa ampun membuat kita sering dihajar pertengkaran. Tapi kupahami ini adalah perjuangan.
Kita mungkin menganggap segalanya baik-baik saja. Toh, kita bekerja demi
masa depan bersama, itu yang tadinya sibuk kujadikan pegangan sekaligus
pil penenang. Namun, kemudian, tahukah kau sayang? Terlalu lama berjeda
tanpa disadari kita menggali lubang menganga. Membuat jalinannya tak
lagi nyaman, karena kita semakin jauh tertelan kesibukan dan tak sanggup
lagi menghirup udara di permukaan.
Imbasnya, tanpa sebab jelas kita sering naik pitam, masalah yang ada
juga tak pernah benar-benar terselesaikan. Sibuk melempar permasalahan
dan mencari pembenaran. Menggiring dan bertukar bola api yang semakin
lama jilatannya bertambah besar. Ah, sayang, tidakkah kau lelah
mengencangkan otot leher untuk saling meneriakkan pemikiran yang
dianggap benar?
Memang jam kerja yang tanpa ampunan dan komunikasi yang terputus di
tengah jalan adalah faktor utama. Namun, bukankah kita harusnya
mendewasa dan menganggap ini semua adalah perjuangan? Alih-alih saling
menuding siapa yang paling sibuk dan tak punya waktu, semestinya kita
mencerapi segalanya secara bijaksana. Mengempiskan ego dan mengusahakan
untuk saling ada adalah jalan yang sebenar-benarnya, mengingat bahwa ini
merupakan perjuangan berdua.
Sungguh, kukagumi sosokmu yang mau meliatkan otot lengan demi
berhasil dalam dunia pekerjaan. Namun, maukah kita sejenak kembali
menekuni jalinan?
Sayang, apakah aku sudah pernah melontarkan pujian padamu? Aku mengagumi
sosokmu yang begitu giat bekerja, tak mengenal lelah pun merapal keluh
dengan mudah. Kau menunjukkan padaku bagaimana menjadi calon pemimpin
keluarga yang sempurna. Bekerja dengan sekuat daya demi menambah digit
saldo rekening untuk persiapan masa depan. Sungguh, tak sekedar sibuk
melontarkan kata dengan jumawa, kau justru memberiku bukti nyata.
Tak putus-putusnya aku mengucap syukur karena Tuhan menyandingkanku
dengan pria yang seperti dirimu. Kerja keras, pantang menyerah, dan rasa
sayang yang tak berkesudahan merupakan paket lengkap yang diimpikan
setiap wanita. Dan aku merupakan wanita beruntung yang bangga
mendapatkanmu untuk menjadi pendamping hidup hingga tutup usia.
Namun, supaya perjuangan ini tak sia-sia, maukah kita sama-sama
meluangkan waktu demi menekuni jalinan? Bersediakah kau dan aku
mengutamakan jalinan dan tak tenggelam ditelan pekerjaan? Agar buah dari
kerja keras yang kita lakoni ini bisa dipetik dan dinikmati di masa
depan, berdua.
Supaya jalan kita tetap bersisian, pondasi memang harus giat kita
susun dari sekarang. Namun, takaran pekerjaan dan jalinan hubungan pun
harus memiliki porsi yang seimbang.
Sayang, sepertinya kita harus mulai merombak tatanan demi kebaikan. Ya,
aku tahu gelombang pekerjaan yang menuntut kerja keras dan sedang
menghisap kita ini memang demi menjamin kehidupan di masa depan. Namun,
kau dan aku tentu tak boleh lupa bahwa kita merupakan unsur penting di
dalam cerita asmara ini. Kitalah tokoh utama yang melakoni cerita, tak
ada kita maka kisah ini tak pernah ada dan masa depan berdua tak akan
terpeta.
Sekali lagi, maukah kita berjuang untuk menyeimbangkan pekerjaan dan
jalinan? Supaya ke depannya, pondasi yang giat kita susun ini makin
kukuh, tak hanya dari segi ekonomi, namun juga emosi. Karena aku tak
ingin rasa yang ada habis tergilas kesibukan yang akhir-akhir ini begitu
getol memegang kendali.
Sungguh, aku rindu saat kita saling memijat pinggang dan bertukar
kelakar setelah kehabisan daya dihantam kesibukan. Aku rindu
menghabiskan waktu denganmu di saat langit mulai petang. Saat beban
pekerjaan bisa saling kita bagi supaya tak terlalu memberatkan.
Dariku,
kekasihmu yang sudah sangat rindu