Jumat, 20 Mei 2016

Walau Sekarang Kita Dihajar Kesibukan, Demi Masa Depan Kita Harus Saling Menguatkan

Hai, sayang.


Aku tak ingin menjejali telingamu dengan keluhan, karena tak tega rasanya menatap parasmu yang tampak kelelahanan. Tak ingin pula aku membuat kerutan di kedua alismu kian jelas tergurat hanya karena mendengarkan tuturanku. Aku pun tak berminat menambah pikulan, membuat jalanmu semakin menunduk pun dadamu bertambah sesak dihimpit ganjalan.
Untuk itulah kubuatkan surat pendek ini saja, supaya bisa kau baca kapanpun kau mau, di saat pekerjaanmu sedang bersiap baik dan menderma sedikit waktu. Lewat surat ini aku juga ingin kau tahu bahwa di sini aku tak lelah menunggu.
Aku tak ingat lagi kapan terakhir kali kita meluangkan waktu untuk makan malam. Yang aku tahu, sekarang kita sedang tenggelam dalam kesibukan.
Bagaimana pekerjaanmu hari ini? Apakah bobot bebannya makin tak masuk akal? Dan, apakah atasanmu masih sering membuatmu sebal? Ah, akhir-akhir ini memang kita sedikit kehilangan rekam jejak satu sama lainnya. Kabar yang kita tukar tak jauh-jauh dari ucapan selamat pagi, selamat makan, selamat tidur. Lucu rasanya, ketika jalinan yang umurnya sudah tahunan ini kembali ditarik mundur. Kita bagai remaja lugu yang masih gagu dan tak tahu mesti berkata apa selain melontarkan ucapan ala kadarnya.
Aku lupa kapan tepatnya kita mulai menciptakan jarak. Yang aku pahami, kita sedang babak belur digilas kesibukan. Waktu yang kita punya makin tiris karena pekerjaan yang kita tekuni kian egois. Tak memperbolehkan kita saling menelepon demi berbagi beban maupun membagi sedikit cerita lewat pesan. Dia hanya mengijinkan kita pulang saat energi sudah tersedot habis. Tak ada lagi daya yang tersisa untuk sekedar makan malam bersama di warung kaki lima maupun kedai nasi goreng langganan. Apalagi bertutur panjang lebar sebelum memejamkan mata.
Kita memilih bantal dan selimut sebagai tempat mengadu. Berjanji bahwa esok hari akan menumpahkan segala cerita. Namun, esok paginya, selalu saja, segalanya tertelan mentah-mentah karena kita terbangun dalam keadaan lupa. Hanya mimpi yang cukup indah yang berhasil tertinggal di kepala.
Jam kerja yang tanpa ampun membuat kita sering dihajar pertengkaran. Tapi kupahami ini adalah perjuangan.
Kita mungkin menganggap segalanya baik-baik saja. Toh, kita bekerja demi masa depan bersama, itu yang tadinya sibuk kujadikan pegangan sekaligus pil penenang. Namun, kemudian, tahukah kau sayang? Terlalu lama berjeda tanpa disadari kita menggali lubang menganga. Membuat jalinannya tak lagi nyaman, karena kita semakin jauh tertelan kesibukan dan tak sanggup lagi menghirup udara di permukaan.
Imbasnya, tanpa sebab jelas kita sering naik pitam, masalah yang ada juga tak pernah benar-benar terselesaikan. Sibuk melempar permasalahan dan mencari pembenaran. Menggiring dan bertukar bola api yang semakin lama jilatannya bertambah besar. Ah, sayang, tidakkah kau lelah mengencangkan otot leher untuk saling meneriakkan pemikiran yang dianggap benar?
Memang jam kerja yang tanpa ampunan dan komunikasi yang terputus di tengah jalan adalah faktor utama. Namun, bukankah kita harusnya mendewasa dan menganggap ini semua adalah perjuangan? Alih-alih saling menuding siapa yang paling sibuk dan tak punya waktu, semestinya kita mencerapi segalanya secara bijaksana. Mengempiskan ego dan mengusahakan untuk saling ada adalah jalan yang sebenar-benarnya, mengingat bahwa ini merupakan perjuangan berdua.
Sungguh, kukagumi sosokmu yang mau meliatkan otot lengan demi berhasil dalam dunia pekerjaan. Namun, maukah kita sejenak kembali menekuni jalinan?
Sayang, apakah aku sudah pernah melontarkan pujian padamu? Aku mengagumi sosokmu yang begitu giat bekerja, tak mengenal lelah pun merapal keluh dengan mudah. Kau menunjukkan padaku bagaimana menjadi calon pemimpin keluarga yang sempurna. Bekerja dengan sekuat daya demi menambah digit saldo rekening untuk persiapan masa depan. Sungguh, tak sekedar sibuk melontarkan kata dengan jumawa, kau justru memberiku bukti nyata.
Tak putus-putusnya aku mengucap syukur karena Tuhan menyandingkanku dengan pria yang seperti dirimu. Kerja keras, pantang menyerah, dan rasa sayang yang tak berkesudahan merupakan paket lengkap yang diimpikan setiap wanita. Dan aku merupakan wanita beruntung yang bangga mendapatkanmu untuk menjadi pendamping hidup hingga tutup usia.
Namun, supaya perjuangan ini tak sia-sia, maukah kita sama-sama meluangkan waktu demi menekuni jalinan? Bersediakah kau dan aku mengutamakan jalinan dan tak tenggelam ditelan pekerjaan? Agar buah dari kerja keras yang kita lakoni ini bisa dipetik dan dinikmati di masa depan, berdua.
Supaya jalan kita tetap bersisian, pondasi memang harus giat kita susun dari sekarang. Namun, takaran pekerjaan dan jalinan hubungan pun harus memiliki porsi yang seimbang.
Sayang, sepertinya kita harus mulai merombak tatanan demi kebaikan. Ya, aku tahu gelombang pekerjaan yang menuntut kerja keras dan sedang menghisap kita ini memang demi menjamin kehidupan di masa depan. Namun, kau dan aku tentu tak boleh lupa bahwa kita merupakan unsur penting di dalam cerita asmara ini. Kitalah tokoh utama yang melakoni cerita, tak ada kita maka kisah ini tak pernah ada dan masa depan berdua tak akan terpeta.
Sekali lagi, maukah kita berjuang untuk menyeimbangkan pekerjaan dan jalinan? Supaya ke depannya, pondasi yang giat kita susun ini makin kukuh, tak hanya dari segi ekonomi, namun juga emosi. Karena aku tak ingin rasa yang ada habis tergilas kesibukan yang akhir-akhir ini begitu getol memegang kendali.
Sungguh, aku rindu saat kita saling memijat pinggang dan bertukar kelakar setelah kehabisan daya dihantam kesibukan. Aku rindu menghabiskan waktu denganmu di saat langit mulai petang. Saat beban pekerjaan bisa saling kita bagi supaya tak terlalu memberatkan.
Dariku,
kekasihmu yang sudah sangat rindu