Senin, 16 Mei 2016

Surat Terbuka Untuk Ibu, Dari Anakmu yang Sulit Bilang Rindu

Bu, membuka surat ini dengan menanyakan kabarmu kurasa terlalu baku. Beberapa menit yang lalu kita baru saja bertukar kabar via pesan singkat di ponsel. Tapi, hari ini di tengah hiruk pikuknya kesibukan, terselip rindu padamu yang tak bisa aku ucapkan. Entah dengan alasan malu atau mungkin hubungan kita yang sejak dulu tak sehangat itu. Karenanya surat ini tentang rindu yang sulit terucap, tentang sayang yang tak sempat terkatakan.

Mungkin saat membuka surat ini, kubayangkan Ibu tengah sibuk berbenah di rumah sambil menunggu Bapak pulang. Atau tengah sibuk memberi ceramah pada adik yang bengalnya luar biasa. Bu, ditengah rutinitasmu itu, aku berharap Ibu sempat untuk membaca suratku ini.

Anakmu ini memang jawara soal menahan gengsi dan rindu. Dalam pertanyaan, “Apa kabar?” atau “Hai Bu” terselip rinduku ke Ibu

Pada akhirnya hanya pernyataan ingin pulang yang mewakili perasaan kangen itu

Mungkin sempat terbesit di benak Ibu mengapa tak pernah mendengar kata rindu dariku. Atau bahkan sekadar ungkapan sayang setiap tanggal 22 Desember tiba. Entah mengapa ucapan manis itu sungguh berat untuk dikatakan. Pada akhirnya hanya pernyataan ingin pulang yang mewakili perasaan kangen itu. Terkadang sekadar pertanyaan sehatkah ibu juga sudah menjadi kalimat pengganti kata rindu. Berbeda dengan teman dan pacar, di mana kata kangen itu dapat dengan mudah terucap tanpa beban.

Hubungan kita memang tak sedekat itu. Tapi, percayalah Bu, selalu kurasakan kehangatan itu di sela rasa khawatirmu akan keadaanku


Jangan lupa sarapan! Sarapan itu penting, Nak!

Terkadang aku pun iri melihat mereka yang dengan lepasnya memeluk ibunya. Tak segan bilang sayang dan dengan romantisnya memberikan bunga di hari Ibu setiap 22 Desember. Hubunganku denganmu mungkin tak sehangat itu ya Bu? Tapi, kehangatan itu menjelma dalam bentuk lain. Kehangatan itu terasa ketika Ibu begitu mengkhawatirkan keadaanku yang tengah sakit di ranah rantau. Atau bahkan saat Ibu memarahiku yang kerap melewatkan waktu sarapan.

Saat dekat, tak jarang kita berdebat. Namun akan kubayar apapun agar momen hangat itu kembali lekat


Mungkin kalau dipikir-pikir ini terdengar lucu ya, Bu. Dulu saat kita dekat, kita sering berdebat. Ya, itu karena kita berdua punya pandangan yang berbeda tentang masa depan. Aku yang ingin melepas lajang setelah kesuksesan di tangan, tentu bertentangan dengan Ibu yang dengan tulus ikhlas mendedikasikan hidupnya untuk keluarga. Mengorbankan mimpimu, menepikan egomu, yang semata atas nama profesi paling mulia, yakni menjadi ibu rumah tangga. Kelak, jika impian ini sudah terpenuhi, aku ingin seperti Ibu.

Di tengah kesibukan yang mengatasnamakan kesuksesan, aku menyadari satu hal. Agenda membahagiakanmu selalu kalah dengan setumpuk impian yang sudah kurencanakan.


Karena aku ingin membahagiakan Ibu bukan dengan ‘sekadar’ ucapan.
Tapi dengan tindakan.

Bu, bisa jadi alasan mengapa aku sulit berucap rindu, semata karena aku ingin membahagiakan Ibu bukan dengan ‘sekadar’ ucapan. Aku ingin membahagiakanmu dengan tindakan. Meski kadang ucapan rindu juga diperlukan sebagai bukti sayang. Aku sadar betul bahwa agenda untuk membahagiakanmu selalu kalah dengan segudang impian yang sudah kurencakan.

Kendatipun ucapan rindu ataupun sayang tak pernah terkatakan, mendoakanmu menjadi agenda wajibku selepas lima waktu kutunaikan


Setidaknya mendoakanmu menjadi agenda wajibku selepas habis salat. Hanya doa yang mampu kubingkiskan untukmu. Semoga Ibu sehat selalu dan senantiasa dalam lindunganNya. Amiin.

Salam dari ranah rantau.
Untuk Ibu, dari putrimu yang sulit bilang rindu
(hipwee).